Transisi energi dinilai harus menjadi kekuatan ekonomi baru, bukan sekadar wacana kebijakan.
JAKARTA, literasikaltim.com — Kesepakatan para menteri energi negara-negara ASEAN dalam Pertemuan ke-43 Menteri Energi ASEAN (AMEM-43), dinilai sebagai langkah maju menuju integrasi energi bersih kawasan.
Namun, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengingatkan agar hasil pertemuan tersebut tidak berhenti pada tataran kebijakan, melainkan ditindaklanjuti dengan aksi nyata dan investasi konkret yang berpihak pada masyarakat.
AMEM-43 yang berlangsung di bawah kepemimpinan Malaysia tahun ini mengusung tema “Powering ASEAN: Bridging Boundaries, Building Prosperity.”
Pertemuan itu menghasilkan sejumlah kesepakatan penting, di antaranya:
- Pemutakhiran Nota Kesepahaman Jaringan Listrik ASEAN (ASEAN Power Grid/APG);
- Peluncuran Inisiatif Pembiayaan APG (APGF) bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia;
- Persetujuan Kerangka Pengembangan Kabel Listrik Bawah Laut; serta
- Finalisasi Rencana Aksi ASEAN untuk Kerja Sama Energi (APAEC) 2026–2030, yang menargetkan 45 persen energi terbarukan dan penurunan intensitas energi hingga 40 persen pada 2030.
Menurut Marlistya Citraningrum, Pejabat Sementara Kepala Sekretariat Southeast Asia Energy Transition Collaborative Network (SETC), jaringan kolaboratif yang menaungi IESR, capaian AMEM tersebut menegaskan kemajuan diplomasi energi ASEAN, namun juga membuka pekerjaan besar di lapangan.
“ASEAN sudah punya fondasi kuat. Tapi fondasi itu belum akan berarti kalau tidak diterjemahkan ke dalam kebijakan siap investasi, proyek nyata, dan sistem yang inklusif,” ujarnya di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Marlistya menilai, ASEAN kini berada pada fase transisi penting, dari sekadar membangun jaringan energi lintas negara menjadi pencipta ekosistem ekonomi hijau yang kompetitif.
“Transisi energi tidak boleh berhenti sebagai agenda teknokratis, dan ia harus menjadi narasi ekonomi baru ASEAN, tentang penciptaan lapangan kerja hijau, peningkatan investasi, dan kedaulatan energi di tengah ketidakpastian global,” tambahnya.
Dalam pertemuan tersebut, Malaysia dipuji karena berhasil mendorong kerja sama konkret antar negara, melalui pembiayaan lintas batas dan pengembangan infrastruktur energi bersih.
Direktur Institute of Energy Policy and Research (IEPRe), Universiti Tenaga Nasional (UNITEN), Malaysia, Dr. Nora Yusma Yusoff, mengatakan inisiatif seperti APG dan APGF berpotensi besar menjadikan ASEAN pusat perdagangan listrik bersih dunia.
“Malaysia telah menempatkan ASEAN di jalur transformasi energi yang nyata. Tapi keberhasilan sesungguhnya akan terlihat bila kerangka ini benar-benar menarik investasi, menciptakan industri baru, dan memperluas manfaat bagi masyarakat,” ujarnya.
IESR sebagai bagian dari SETC menilai langkah Malaysia tersebut, sejalan dengan visi integrasi energi berkelanjutan yang selama ini didorong oleh organisasi masyarakat sipil di kawasan.
Meski kesepakatan AMEM ke-43 dianggap progresif, tantangan besar masih menanti.
Hingga kini, 80 persen pasokan energi ASEAN masih bergantung pada bahan bakar fosil, sementara permintaan energi meningkat 3–4 persen per tahun.
Tanpa percepatan transisi, target energi bersih 45 persen pada 2030 dikhawatirkan tidak akan tercapai.
IESR dan SETC melalui inisiatif Southeast Asia Energy Transformation Initiative (SEA-ETI) menyerukan agar transisi energi dijalankan dengan prinsip “berkeadilan”, yakni memastikan tidak ada pihak tertinggal, baik masyarakat lokal, UMKM, maupun tenaga kerja terdampak dari pergeseran industri energi fosil.
“Transisi energi harus membuka peluang baru bagi masyarakat. Kita tidak hanya butuh megawatt, tapi juga mekanisme agar rakyat bisa ikut tumbuh bersama energi bersih,” tegas Marlistya.
Dalam rekomendasinya kepada para pemimpin ASEAN menjelang KTT ASEAN 2025 di Malaysia, IESR bersama SETC mengajukan lima langkah konkret agar hasil AMEM bisa diterapkan secara nyata, antara lain:
- Mendirikan Platform Investasi Hijau ASEAN (2026), untuk memperluas pembiayaan proyek energi bersih yang layak investasi;
- Membentuk Kemitraan Transisi Energi Adil ASEAN (ASEAN-JETP), berdasarkan pengalaman Indonesia dan Vietnam;
- Mempercepat implementasi ASEAN Power Grid dan jaringan kabel bawah laut, guna memperkuat perdagangan listrik bersih antarnegara;
- Mengembangkan Strategi Tenaga Kerja dan Industri Energi Hijau ASEAN, termasuk pelatihan lintas negara;
- Menetapkan Agenda Transisi Hijau Berkelanjutan, agar kebijakan energi tidak terputus tiap kali pergantian ketua ASEAN.
Langkah tersebut diharapkan menjadi kerangka kerja bersama antara Pemerintah, lembaga keuangan, dan masyarakat sipil untuk mendorong transformasi ekonomi hijau di kawasan.
Dalam lanskap global, Asia Tenggara kini menjadi salah satu kawasan dengan konsumsi energi tertinggi sekaligus paling rentan terhadap perubahan iklim.
IESR menilai, keputusan-keputusan di level ASEAN memiliki pengaruh besar terhadap stabilitas energi dan ekonomi dunia.
“Kalau ASEAN bisa menempatkan energi bersih sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi, kawasan ini akan menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global energi hijau,” ujar Marlistya.
Oleh karena itu, IESR menegaskan pentingnya keberlanjutan kebijakan energi lintas tahun dan koordinasi yang lebih erat antarnegara.
“Ini bukan hanya soal listrik dan jaringan, tapi tentang arah masa depan ekonomi Asia Tenggara,” tandasnya.
Tentang SETC dan IESR.
Southeast Asia Energy Transition Collaborative Network (SETC) merupakan koalisi lintas lembaga yang terdiri dari organisasi riset, akademisi, dan masyarakat sipil di enam negara ASEAN: Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Kamboja, dan Singapura.
Jaringan ini, berkomitmen mempercepat transisi energi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan di kawasan.
Di Indonesia, koalisi ini diwakili oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) — lembaga think-tank independen yang fokus pada kebijakan energi, dekarbonisasi, dan keadilan iklim.
REDAKSI.













