JAKARTA, literasikaltim.com– Praktik melawan hukum dalam dugaan korupsi besar-besaran yang menyeret PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (PT PTB) dalam pengelolaan Terminal Ship to Ship (STS) di perairan Muara Berau dan Muara Jawa, wilayah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), terus menjadi sorotan.
Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 5,04 triliun, dengan berbagai pelanggaran regulasi yang mulai terungkap ke publik.
PT PTB disebut telah melaksanakan kegiatan operasional di wilayah perairan, yang belum memiliki dasar hukum sebagai area pelabuhan resmi.
Ironisnya, perusahaan ini berdalih telah mengantongi izin resmi dan bahkan kerap mencatut nama mantan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, untuk memperkuat klaim legalitas mereka.
Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI), Rudi Prianto, mengungkapkan bahwa izin yang dikantongi PT PTB diduga kuat diperoleh melalui manipulasi data.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah masuk kategori kejahatan serius terhadap negara,” ujar Rudi kepada wartawan, Senin (14/4/2025), dikutip dari beberapa media Jakarta.
Rudi menekankan, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 48 Tahun 2021, penetapan wilayah konsesi harus dilakukan Menteri Perhubungan dengan mempertimbangkan kesesuaian tata ruang daerah.
Dalam hal ini, koordinasi dengan Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi hal mutlak, namun bukti koordinasi tersebut tidak pernah ditemukan.
Lebih lanjut, Permenhub Nomor 59 Tahun 2021 juga mewajibkan pelaporan kegiatan usaha jasa kepelabuhanan kepada Gubernur dan otoritas pelabuhan setempat.
Sayangnya, tidak ada jejak dokumentasi yang menunjukkan bahwa prosedur ini telah dijalankan dalam pengelolaan Terminal STS oleh PT PTB di wilayah tersebut.
“Dengan tidak adanya dasar hukum penetapan tata ruang yang sah, maka seluruh pungutan yang dilakukan PT PTB otomatis menjadi ilegal,” kata Rudi.
“Dan ini, bisa dikategorikan sebagai bentuk tindak pidana korupsi berupa pungutan liar,” imbuhnya.
Rudi juga menyoroti inkonsistensi Kementerian Perhubungan yang mengeluarkan Surat Nomor PR.202/1/18 PHB 2023 tertanggal 24 Juli 2023 tentang penetapan tarif awal jasa kepelabuhanan di lokasi tersebut.
Surat ini dinilai bertentangan dengan regulasi yang berlaku dan seharusnya segera dicabut.
“Konsesi yang diberikan kepada PT PTB wajib dibatalkan secara resmi,” tegasnya.
Kasus ini pun menyeret perhatian sejumlah institusi penegak hukum dan pengawasan negara.
Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, serta Direktorat Investigasi BPKP didesak untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh, atas dugaan korupsi dan pungli yang dilakukan PT PTB, dengan estimasi kerugian negara mencapai sedikitnya 300 juta dolar AS.
Tekanan terhadap Kementerian Perhubungan kian besar setelah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta membatalkan Surat Menteri Perhubungan tersebut melalui putusan Nomor 377/B/2024/PT.TUN.JKT tanggal 18 September 2024.
Putusan ini, memperkuat argumen bahwa seluruh aktivitas PT PTB di lokasi itu berada di luar koridor hukum.
Kasus ini diyakini bisa menjadi preseden penting dalam reformasi tata kelola sektor pelabuhan nasional, sekaligus ujian bagi komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan perlindungan terhadap tata ruang maritim yang sah.
Hingga di turunkan berita ini dari pihak PT Pelabuhan Tiga Bersaudara belum memberikan keterangan secara resminya.
Penulis: Tim Redaksi.