Prof. Abdunnur: Perguruan Tinggi Harus Menjadi Agen Perubahan dalam Pengelolaan Tambang.
SAMARINDA – Rektor Universitas Mulawarman (Unmul), Prof. Abdunnur, menanggapi wacana pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Mineral Logam dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Batubara, kepada badan usaha yang didirikan perguruan tinggi dengan pendekatan yang hati-hati.
Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut harus didasarkan pada kajian menyeluruh, dan tidak bisa sekadar diputuskan secara sepihak oleh pimpinan universitas.
“Kami telah menggelar diskusi bersama berbagai unsur pimpinan universitas, dewan pertimbangan, Ketua Senat, Satuan Pengawas Internal, Wakil Rektor, para Dekan, Direktur Pascasarjana, hingga perwakilan Mahasiswa dari BEM,” ucap Abdunnur dalam wawancara dengan media ini, di gedung rektorat Unmul, Senin (10/2/2025).
“Dan, Kami ingin mendengar berbagai sudut pandang sebelum mengambil sikap,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut, tidak ada kesimpulan yang langsung diambil. Sebaliknya, pertemuan tersebut lebih difokuskan untuk membahas syarat-syarat, yang harus dipenuhi pemerintah jika perguruan tinggi menerima izin tambang.
Pembahasan juga mencakup alasan akademik dan moral, yang mendasari keputusan apakah perguruan tinggi harus terlibat dalam bisnis pertambangan atau tidak.
Prof. Abdunnur menjelaskan bahwa perguruan tinggi memiliki aktivitas utama di bidang akademik.
Namun, ia juga menyadari bahwa industri pertambangan seringkali memiliki stigma negatif, akibat dampak lingkungan yang ditimbulkan serta kurangnya manfaat bagi masyarakat sekitar.
“Kalau Perguruan Tinggi ikut mengelola tambang, ada kekhawatiran bahwa citra negatif industri ini bisa terbawa,” katanya.
“Dan, jangan sampai kampus yang seharusnya menjadi pusat ilmu justru berorientasi pada bisnis semata,” imbuhnya.
Namun, Abdunnur juga melihat sisi positif dari peluang ini, dan Ia berpendapat bahwa jika Perguruan Tinggi mampu mengelola tambang dengan baik, industri tersebut bisa memberikan contoh bagaimana pengelolaan yang ramah lingkungan, dan bermanfaat bagi masyarakat bisa dilakukan.
“Perguruan Tinggi bisa menunjukkan bahwa pengelolaan tambang yang baik itu mungkin, tentunya ini bisa menjadi bahan pembelajaran bagi Mahasiswa, tempat penelitian bagi Dosen, serta tetap berorientasi pada pengembangan keilmuan,” jelasnya.
Abdunnur membandingkan pendekatan akademik dengan mindset pengusaha yang murni mengejar keuntungan.
“Jika dikelola oleh kampus, seharusnya ada komitmen lebih untuk menjadikannya model pertambangan berkelanjutan,” lanjutnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pengelolaan tambang oleh Perguruan Tinggi harus memenuhi standar baru, mengingat banyaknya kasus pertambangan yang merusak lingkungan dan tidak memberdayakan masyarakat.
“Ini adalah tantangan besar, jika Perguruan Tinggi mengambil peran ini, mereka harus menjadi agen perubahan,” tegasnya.
Menurut Abdunnur, wacana keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang telah memunculkan pro dan kontra.
Beberapa pihak khawatir bahwa hal tersebut akan menggeser orientasi akademik kampus, sementara di sisi lain ada yang melihat peluang besar dalam kemandirian finansial kampus.
“Kampus ke depan harus lebih mandiri dalam pengelolaan keuangan. Selama ini, anggaran Unmul berasal dari APBN, PNBP, dan kerja sama pengelolaan aset,” terangnya.
Namun, Abdunnur juga mengingatkan bahwa status Kelembagaan Kampus menjadi faktor yang sangat penting dalam hal ini.
Perguruan Tinggi dengan status Badan Layanan Umum (BLU) memiliki batasan dalam pengelolaan bisnis, sementara Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) memiliki fleksibilitas lebih besar.
“Dalam aturan terakhir, Perguruan Tinggi yang ingin mengelola tambang minimal harus memiliki akreditasi B,” sebutnya.
“Itu pun, masih banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan,” tambahnya.
Dukungan Pemerintah, kata Abdunnur, sangat penting, urusan tambang membutuhkan persiapan matang dan modal yang kuat.
“Jangan hanya memberikan izin, tapi harus ada support yang jelas, dan pendanaan bukan perkara mudah. Apakah nanti ada subsidi atau kemudahan perizinan? Itu harus diperjelas,” tegasnya.
Abdunnur menolak gagasan bahwa Kampus hanya bertindak sebagai penerima manfaat pasif dari bisnis tambang.
“Jangan sampai hanya sekadar mendapat fee dari kemitraan, dan Kalau benar-benar terlibat, kampus harus ada di dalam proses pengelolaannya,” tuturnya.
Ia juga mengajak Perguruan Tinggi untuk berpikir lebih jauh. Jika perguruan tinggi tidak mengambil peran, maka mereka hanya akan menjadi penonton.
Padahal, ini bisa menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa pengelolaan tambang yang bertanggung jawab itu bisa dilakukan.
Konsep “Green Mining” atau tambang ramah lingkungan menjadi salah satu poin yang ia tekankan.
“Bicara tambang ramah lingkungan itu jangan hanya teori. Harus bisa dibuktikan dalam praktik,” ujar Abdunnur.
Ia juga menilai bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam industri pertambangan bisa menjadi sarana pembelajaran multidisiplin, dengan memanfaatkan 100 program studi yang ada di Unmul.
“Kita bisa berkontribusi dalam perencanaan, evaluasi, dan inovasi tambang berkelanjutan,” katanya.
Meski begitu, Abdunnur juga mengingatkan bahwa tidak semua perguruan tinggi siap untuk mengambil tantangan ini.
“Kalau SDM dan kapasitas belum memadai, lebih baik tidak usah ikut bicara. Harus realistis,” tegas Abdunnur.
Saat ini, Unmul masih dalam tahap kajian dan belum mengambil keputusan final.
“Kami terus mengumpulkan masukan, dan jika nanti memang memungkinkan, Kita akan pastikan semuanya dilakukan dengan standar akademik yang jelas,” kata Abdunnur.
Bagi Abdunnur, keterlibatan perguruan tinggi dalam industri ekstraktif bukan sekadar mencari keuntungan, tetapi juga sebagai peluang untuk membangun model pengelolaan tambang yang lebih berkelanjutan.
“Kalau masuk, harus benar-benar membawa perubahan. Jika tidak, lebih baik tidak ikut sama sekali,” pungkasnya.
Penulis: Andi Isnar