Refleksi Hari Kartini: Perempuan Mahardhika Samarinda Serukan Perlawanan terhadap Ketidakadilan.

SAMARINDA, literasikaltim.com — Perempuan Mahardhika Samarinda menggelar sebuah peringatan Hari Kartini yang sarat makna dan refleksi sejarah melalui kegiatan bertajuk “Membaca Surat Kartini: Melihat Kartini; Perlawanan terhadap Sistem Patriarki, Feodalisme, dan Kolonialisme”, di Teras Samarinda, Senin (21/4/2025).

Berbeda dari perayaan Kartini yang umumnya dipenuhi simbolisasi seperti lomba mengenakan kebaya atau peragaan busana, kegiatan ini menyuguhkan pembacaan langsung 13 surat R.A. Kartini kepada para sahabat penanya di Belanda, seperti Stella dan Nyonya Abendanon-Mandri.

Surat-surat itu membuka kembali lembaran pemikiran Kartini, sebagai sosok pemikir kritis dan pejuang kemerdekaan yang progresif untuk masanya.

Suci, dari Komite Nasional Perempuan Mahardhika, menegaskan bahwa acara ini bertujuan menghadirkan Kartini dalam wujud yang lebih utuh dan otentik, melalui gagasan dan pemikiran yang ia tuangkan dalam surat-suratnya.

“Selama ini Kartini sering direduksi hanya sebagai simbol emansipasi perempuan. Padahal surat-suratnya menunjukkan bahwa ia juga vokal menentang kolonialisme dan sistem sosial yang menindas perempuan dan rakyat pribumi,” ujar Suci.

Kegiatan berlangsung dalam suasana yang semula hangat namun kemudian menjadi syahdu ketika hujan turun di tengah acara.

Meski begitu, semangat para peserta tak surut, dan satu per satu surat Kartini dibacakan dengan penghayatan, disambung diskusi kritis seputar isi dan relevansi pemikirannya.

Refinaya, atau akrab disapa Naya, selaku Koordinator Perempuan Mahardhika Samarinda, menyoroti bahwa perayaan Hari Kartini perlu dikembalikan ke semangat awal perjuangannya.

“Peringatan Hari Kartini bukan sekadar seremoni. Ini momentum untuk menelaah kembali gagasan beliau. Pena adalah senjatanya, dan tulisan-tulisan beliau masih sangat relevan hingga hari ini,” jelas Naya.

Naya juga menggarisbawahi bahwa kondisi yang dihadapi perempuan masa kini tidak jauh berbeda dengan tantangan yang dulu dituliskan Kartini lebih dari satu abad lalu.

Ia menyebut bahwa membaca ulang surat Kartini, adalah bagian dari melanjutkan perjuangan yang belum selesai.

Suasana emosional juga terasa bagi para peserta yang hadir. Salah satunya adalah Devi Mogot, yang mengaku terharu dengan kedalaman diskusi yang tercipta.

“Saya merasa bangga, karena masih ada ruang diskusi yang jujur dan sadar di kota ini. Semoga semakin banyak komunitas yang membahas soal perempuan dengan tulus,” ungkapnya.

Ia berharap, lingkaran-lingkaran kecil seperti ini bisa tumbuh lebih luas dan menjangkau lebih banyak perempuan di Samarinda, agar bisa berkembang tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara moral dan emosional.

Hujan yang mengguyur tak menyurutkan langkah, dan hingga akhir kegiatan, peserta tetap bertahan.

Suara Kartini, lewat surat-suratnya, kembali bergema di Samarinda—menegaskan bahwa perjuangannya masih terus relevan, dan semangatnya tetap hidup dalam setiap perlawanan terhadap ketidakadilan yang masih berlangsung hingga kini.

Penulis: Andi Isnar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *