LSM Cakra Kaltim Siap Tempuh Langkah Hukum Jika Ada Indikasi Pelanggaran.
Kutai Timur, literasikaltim.com – Pembangunan infrastruktur yang diharapkan menjadi tulang punggung konektivitas antarwilayah di Kutai Timur justru memunculkan kekecewaan.
Proyek peningkatan Jalan Tanjung Manis–Susuk (MY), yang menelan anggaran sebesar Rp58 miliar dari APBD Kutim tahun anggaran 2023–2024, hingga kini belum menunjukkan progres berarti di lapangan.

Pembangunan jalan yang dirancang untuk menghubungkan Kecamatan Sangkulirang dan Kecamatan Sandaran itu, dijadwalkan rampung dalam kurun waktu 441 hari kalender.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi jalan yang masih rusak dan belum mampu menunjang aktivitas warga, baik dari segi ekonomi maupun mobilitas harian.
Ketua Wilayah LSM Cakra Provinsi Kalimantan Timur, Budi Untoro, angkat bicara terkait lambatnya pelaksanaan proyek tersebut.
Menurutnya, nilai anggaran yang besar harus dibarengi dengan pertanggungjawaban yang jelas serta pengawasan ketat dari pihak terkait.

“Publik perlu tahu sudah sejauh mana pelaksanaan pembangunan ini, dan kalau terus dibiarkan tanpa penjelasan, tentu wajar bila masyarakat menduga ada ketidakwajaran dalam pelaksanaannya,” ujar Budi dalam keterangannya kepada media literasikaltim.com, Selasa (6/5/2025).
Ia menyoroti peran Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kutim serta kontraktor pelaksana, PT Delta Batarajaya Jasa Konstruksi, yang dinilai belum memberikan keterbukaan informasi atas perkembangan proyek.
LSM Cakra mendesak agar dilakukan audit menyeluruh dan independen oleh lembaga berwenang, seperti Inspektorat Daerah maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut Budi, audit terbuka penting dilakukan untuk mencegah potensi penyalahgunaan anggaran serta memastikan akuntabilitas publik.
Ia juga menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses ini, dan siap menempuh langkah hukum apabila ditemukan indikasi pelanggaran.
“Jangan sampai proyek senilai puluhan miliar hanya menjadi tumpukan laporan tanpa hasil nyata di lapangan, dan Kami tidak ingin masyarakat, khususnya yang tinggal di wilayah pelosok seperti Sandaran, terus menjadi korban kelalaian birokrasi dan praktik pembangunan yang buruk,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa pembangunan yang merata hingga ke daerah terpencil merupakan wujud nyata kehadiran negara.
“Pemerataan pembangunan tidak boleh berhenti di atas kertas. Daerah pinggiran juga berhak menikmati infrastruktur yang layak,” tutup Budi dengan nada tegas.
Proyek ini kini menjadi perhatian publik, dan diharapkan pemerintah daerah segera merespons dengan langkah konkret agar tidak menambah panjang daftar proyek mangkrak di Kalimantan Timur.
Penulis: Andi Isnar