JAKARTA, literasiksltim.com – Presiden RI Prabowo Subianto menargetkan seluruh sumber listrik di Indonesia berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam waktu 10 tahun, atau bahkan lebih cepat. Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-1 Tahun Sidang 2025/2026 sekaligus penyampaian RAPBN 2026 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Prabowo menegaskan, transisi penuh ke energi terbarukan menjadi langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional sekaligus menjawab tantangan perubahan iklim.
Target ambisius ini, dinilai akan menjadi tonggak penting dalam sejarah pembangunan energi Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi visi presiden.
Namun, lembaga think tank energi dan lingkungan itu menekankan perlunya rencana teknis dan kebijakan konkret agar target dapat benar-benar tercapai.
CEO IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan sekitar 3.800 GW, termasuk energi surya yang mencapai 3,3 TWp hingga 20 TWp tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Potensi ini dinilai sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik sekaligus memperluas akses energi, khususnya bagi 5.500 desa yang hingga kini masih minim pasokan listrik.
“Visi Pak Prabowo menunjukkan niat besar untuk mempercepat transisi energi, namun visi ini harus segera diterjemahkan dalam peta jalan teknis oleh kementerian terkait,” tegas Fabby.
Menurut IESR, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) harus menjadi prioritas utama.
Selain cepat dibangun, biaya pengembangan PLTS relatif lebih murah dibandingkan opsi lain.
Dari sisi potensi, Indonesia memiliki kapasitas 655 GW untuk PLTS atap di bangunan rumah serta 300 GW PLTS terapung di perairan nasional.
IESR menilai akselerasi transisi energi akan terhambat jika regulasi tidak segera diperbarui.
Beberapa aturan yang perlu ditinjau kembali, antara lain kuota PLTS dalam sistem kelistrikan dan kebijakan Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT).
“Jika langkah regulasi ini segera diambil, maka percepatan energi terbarukan bisa dimulai sekarang,” ucapnya.
“Dampaknya bukan hanya listrik hijau, tetapi juga investasi baru, lapangan kerja hijau, serta ketahanan energi nasional yang lebih kuat,” jelas Fabby.
Meski target 100% listrik terbarukan dalam 10 tahun terbilang ambisius, IESR menilai hal itu bukan mustahil.
Dengan strategi tepat, Indonesia bahkan bisa mencapai sistem kelistrikan sepenuhnya terbarukan pada 2040.
Namun, tantangannya tidak kecil, mulai dari pendanaan, infrastruktur, hingga komitmen politik yang konsisten.
Bagi Indonesia, keberhasilan mencapai target ini akan membawa banyak manfaat: produk energi rendah emisi yang kompetitif di pasar global, peningkatan produktivitas industri, serta lahirnya industri manufaktur hijau yang membuka lapangan kerja baru.
Penulis: Andi Isnar