Pemerintah Diminta Tegas Kawal Target Energi Terbarukan di RUPTL 2025–2034.

DISCLAIMER: Penayangan ulang sebagian atau keseluruhan berita untuk konten akun media sosial komersil harus seizin Redaksi

IESR Soroti Rendahnya Realisasi Proyek dan Dominasi Energi Fosil dalam Rencana Listrik Nasional.

JAKARTA, literasikaltim.com — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034 yang disahkan pada Senin (26/5/2025).

Dalam dokumen ini, pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 42,6 gigawatt (GW), dan tambahan penyimpanan daya 10,3 GW dari teknologi seperti pumped hydro dan baterai.

Porsi EBT dalam RUPTL terbaru ini, meningkat signifikan dibandingkan periode sebelumnya.

Energi surya mendominasi rencana dengan kontribusi 17,1 GW, disusul oleh pembangkit tenaga air (11,7 GW), angin (7,2 GW), panas bumi (5,2 GW), bioenergi (0,9 GW), serta pembangkit tenaga nuklir (0,5 GW) yang untuk pertama kalinya masuk dalam skenario pembangunan jangka panjang.

Menanggapi rencana tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah pemerintah namun mengingatkan agar pengawasan implementasi dilakukan secara ketat.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyatakan bahwa meski peningkatan kapasitas EBT patut diapresiasi, target tersebut masih berada di bawah komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) yang sebesar 56 GW pada tahun 2030.

“Target dalam RUPTL ini belum mencerminkan ambisi yang dibutuhkan, untuk menjaga suhu bumi agar tidak naik lebih dari 1,5 derajat Celsius sebagaimana diamanatkan dalam Persetujuan Paris,” kata Fabby, dalam keterangan tertulis ke media ini, Rabu (28/5/2025).

Ia juga menyoroti lemahnya pelaksanaan proyek sebelumnya oleh PLN, di mana hingga pertengahan 2025, hanya 1,6 GW pembangkit EBT yang berhasil beroperasi dari target 10 GW yang ditetapkan dalam RUPTL 2021–2030.

Fabby menyebut keterlambatan proses lelang proyek, dan lambannya negosiasi power purchase agreement (PPA) sebagai kendala utama rendahnya realisasi proyek.

Ia menilai, ketergantungan terhadap pembangkit berbahan bakar gas dan batu bara, serta rencana pengembangan energi nuklir, berpotensi memperbesar risiko ketahanan energi nasional dalam jangka panjang.

“Keberadaan 2,8 GW PLTU yang masih dijadwalkan beroperasi setelah 2030 bertentangan dengan komitmen net zero emission (NZE) pada 2060 dan Perpres Nomor 112 Tahun 2022, yang seharusnya mengakhiri operasional PLTU di tahun 2050,” tegasnya.

Masuknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) ke dalam RUPTL juga mendapat perhatian serius dari IESR.

Selain belum adanya keputusan resmi dari Presiden, Indonesia juga belum memiliki regulasi lengkap terkait keamanan operasi nuklir, dan teknologi yang akan digunakan belum ditetapkan.

Fabby menilai risiko yang ditimbulkan sangat tinggi, terutama jika melihat rendahnya penerimaan publik terhadap energi nuklir.

Di sisi lain, ketergantungan terhadap gas dinilai justru menambah beban risiko. Menurut Fabby, saat ini PLN sudah kesulitan memenuhi kebutuhan gas untuk pembangkit.

Jika konsumsi gas meningkat dua hingga tiga kali lipat, maka ketersediaan dan kestabilan harga akan menjadi tantangan besar.

“Energi terbarukan adalah opsi paling rasional dan aman. Selain memperkuat ketahanan sistem energi nasional, biaya produksinya juga lebih kompetitif dan berkelanjutan,” tambahnya.

Sementara itu, Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi sebesar 333 GW dari berbagai sumber energi terbarukan yang layak secara ekonomi.

“Ada sekitar 60% dari potensi tersebut, memiliki tingkat pengembalian investasi (EIRR) di atas 10%, berdasarkan tarif yang diatur dalam Perpres 112/2022,” lanjutnya.

Deon mendorong agar pemerintah membuka akses lebih luas, bagi pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT).

Menurutnya, PBJT dapat mempercepat investasi swasta dalam proyek-proyek EBT serta memperkuat pendanaan PLN, dengan melalui pendapatan tambahan dari penggunaan jaringan.

“Dengan memberikan kepastian terhadap mekanisme PBJT, PLN bisa mempercepat pencapaian target RUPTL, bahkan melampauinya. Ini akan membuka partisipasi lebih besar dari sektor swasta dan konsumen energi,” ujarnya.

IESR juga telah menerbitkan kajian lengkap mengenai potensi energi terbarukan dan memberikan rekomendasi kebijakan untuk mendukung PBJT.

Dengan tetap menempatkan PLN sebagai pemilik jaringan, PBJT dipandang sebagai solusi strategis untuk mendorong transisi energi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Ajak Kolaborasi Nasional.

Dalam konteks ini, IESR mengajak seluruh pemangku kepentingan — termasuk kementerian terkait, DPR, pemerintah daerah, BUMN, dan sektor swasta — untuk mendukung pelaksanaan RUPTL dengan pendekatan yang terukur dan berorientasi pada hasil.

Masyarakat juga diimbau untuk berperan aktif, dalam mendorong transisi energi bersih demi masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.

REDAKSI.

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0878-8345-4028

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *