SAMARINDA, literasikaltim.com – Konflik yang melanda Jemaat Gereja Toraja di Jalan Air Terjun, Kelurahan Mangkupalas, Samarinda, memasuki babak serius.
Sengketa terkait status rumah jabatan pendeta (pastori) yang saat ini dikuasai sebagian pihak dinilai sebagai tindakan melawan hukum.
Kuasa hukum jemaat, Fensensius Tolayuk, menegaskan bahwa seluruh aset gereja, termasuk pastori, sah secara hukum sebagai milik Gereja Toraja.
“Kami meyakini dari sisi legalitas, kepemilikan, dan bukti hibah tanah yang menjadi dasar berdirinya Gereja Toraja di Mangkupalas ini tidak cacat hukum, dan hibah tersebut resmi, sah, dan belum pernah digugat di pengadilan,” tegas Fensensius saat ditemui awak media, Selasa (19/8/2025).
Ia menjelaskan, mediasi yang pernah difasilitasi oleh aparat kepolisian beberapa waktu lalu hanyalah upaya damai, bukan keputusan hukum yang bersifat final.
Karena itu, pihaknya tetap berpegang pada fakta hukum bahwa aset tersebut diperuntukkan bagi gereja dan jemaatnya.
Fensensius juga menampik isu yang menyebutkan penerima hibah, Samuel Baan, berupaya menguasai tanah secara pribadi.
Menurutnya, Samuel hanya bertindak sebagai penerima kuasa dari Gereja Toraja, bukan pemilik personal.
“Tujuan hibah jelas: untuk membangun dan memelihara gereja, dan seluruh aset tetap berada di bawah organisasi resmi Gereja Toraja yang diakui negara dan Kementerian Agama,” ujarnya.
“Bahkan Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja, telah memberikan mandat kepada kami untuk menjaga dan mempertahankan aset ini,” imbuhnya.
Ia menambahkan, pembangunan gereja yang menelan anggaran Rp4 miliar dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa proses hukum dan administrasi hibah telah berjalan sah.
“Tidak mungkin dana sebesar itu dicairkan tanpa legalitas yang jelas. Jadi dari sisi hukum, posisi kami sangat kuat,” katanya.
Meski konflik terus berlangsung, Fensensius menegaskan bahwa gereja selalu membuka ruang rekonsiliasi.
“Kami rindu bersatu kembali dengan saudara-saudara yang memilih berbeda jalan. Tapi rekonsiliasi tidak bisa dibangun di atas egoisme atau arogansi pribadi, dan Gereja adalah rumah ibadah milik bersama, bukan untuk mengedepankan kepentingan tertentu,” ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga persatuan dan toleransi di tengah perbedaan.
“Gereja berdiri di atas dasar kasih. Hukum tertinggi dalam gereja adalah cinta kasih. Karena itu, Kami selalu terbuka pada perdamaian, asal benar-benar tulus dan mengikat secara hukum,” imbuhnya.
Kuasa hukum jemaat memastikan, jika konflik berlarut-larut, pihaknya siap menempuh jalur hukum hingga ke tingkat pengadilan.
“Kalau ada pihak yang masih menguasai pastori secara melawan hukum, biarlah pengadilan yang memutuskan dengan adil dan netral. Bahkan sampai ke Mahkamah Agung pun kami siap,” tegas Fensensius.
Ia menutup pernyataannya dengan harapan agar semua pihak menghormati legalitas yang ada dan mengedepankan kepentingan jemaat.
“Selama gereja ini digunakan untuk ibadah dan pelayanan, maka tujuan hibah tetap terjaga. Itu yang Kami pertahankan sampai kapan pun,” pungkasnya.
Penulis: Andi Isnar