Inovasi Jaringan Listrik: Indonesia Adopsi Pembelajaran dari Inggris untuk Transisi Energi.

DISCLAIMER: Penayangan ulang sebagian atau keseluruhan berita untuk konten akun media sosial komersil harus seizin Redaksi

JAKARTA, literasikaltim.com – Indonesia tengah memacu langkah untuk mewujudkan transisi energi yang lebih ramah lingkungan, sejalan dengan komitmennya untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, pemerintah Indonesia menargetkan transisi penuh ke 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade mendatang, dengan fokus utama pada pengakhiran operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara pada 2040.

Ambisi besar ini, juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 8 persen per tahun.

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah Indonesia telah menetapkan langkah strategis yang diyakini akan menjadi game changer bagi perekonomian negara.

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), transisi ini dapat menciptakan manfaat yang signifikan, baik dari segi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan reformasi besar dalam sistem tenaga listrik Indonesia.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyampaikan bahwa meskipun pengakhiran operasional PLTU batubara pada tahun 2040 dan pencapaian target 100 persen energi terbarukan adalah tantangan besar, hal tersebut bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan.

Ia menekankan bahwa langkah pertama yang harus diambil adalah meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan secara masif dalam lima tahun ke depan, dengan target mencapai 60 hingga 80 GW kapasitas terpasang, di mana lebih dari separuhnya berasal dari tenaga surya.

“Kita harus mulai dengan mempercepat pengembangan energi terbarukan, terutama tenaga surya, yang biayanya relatif lebih rendah dan dapat dikembangkan lebih cepat,” ujar Fabby.

Namun, menurut IESR, tantangan utama dalam transisi ini adalah sifat intermiten dari energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin, yang dapat memengaruhi kestabilan pasokan listrik.

Energi terbarukan ini bergantung pada kondisi cuaca dan waktu tertentu, sehingga sulit untuk dijadikan sumber daya yang andal secara terus-menerus.

Untuk mengatasi hal tersebut, IESR mengusulkan beberapa solusi strategis, antara lain modernisasi jaringan listrik, pembangunan sistem penyimpanan energi, serta meningkatkan fleksibilitas dalam manajemen beban listrik.

Dengan pendekatan ini, diharapkan pasokan energi tetap stabil dan dapat diandalkan, meskipun sumber energi utamanya berasal dari energi terbarukan yang bersifat fluktuatif.

Belajar dari Pengalaman Inggris.

Sebagai contoh, Inggris telah berhasil mengatasi tantangan tersebut melalui berbagai inovasi. Negara ini telah melakukan modernisasi infrastruktur jaringan listriknya untuk mengakomodasi semakin banyaknya sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari.

Inggris bahkan menetapkan ambisi untuk mencapai dekarbonisasi penuh di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2035, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas jaringan dan memperkenalkan teknologi penyimpanan energi.

menurut Manajer Green Energy Transition Indonesia IESR, Erina Mursanti, menilai bahwa Indonesia dapat belajar banyak dari pengalaman Inggris dalam hal transisi energi terbarukan.

“Inggris telah berhasil memperkenalkan layanan jaringan listrik berbasis penyimpanan energi, fleksibilitas dalam merespon permintaan listrik, dan pengembangan jaringan interkoneksi, ” katanya.

“Semua itu menjadi kunci untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan secara massal,” ungkap Erina.

Erina menambahkan, Indonesia juga berencana membangun jaringan listrik hijau yang akan menghubungkan seluruh sistem kelistrikan di Tanah Air mulai 2029.

Rencana ini mencakup pengembangan jaringan pintar (smart grid) dan pengoperasian pembangkit listrik fleksibel, yang dapat mendukung integrasi energi terbarukan.

Ke depannya, Indonesia berencana mengembangkan proyek super grid yang menghubungkan wilayah-wilayah besar seperti Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara, yang diperkirakan memerlukan investasi sekitar USD 25 miliar.

Kerja Sama Internasional dan Proyek GETI.

Untuk mempercepat transisi ini, Indonesia menjalin kerja sama dengan Inggris melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI).

Proyek ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi di Indonesia dengan memberikan dukungan kebijakan dan pengembangan kapasitas.

Pemerintah Inggris, melalui proyek GETI yang bekerja sama dengan IESR, mendorong Indonesia untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mengembangkan hidrogen hijau sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi industri.

Proyek GETI berfokus pada dua hal utama: pertama, memobilisasi dukungan untuk reformasi kebijakan yang mendorong penggunaan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan, dan kedua, membentuk Indonesia Green Hydrogen Accelerator, untuk mempercepat pengembangan pasar hidrogen hijau, sesuai dengan Strategi Hidrogen Nasional Indonesia 2023.

Menurut Erina, penting untuk memastikan kebijakan energi nasional, seperti RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), selaras dengan target RPJPN. Kebijakan yang konsisten dan ambisius akan memberikan sinyal positif bagi investor untuk berinvestasi dalam sektor energi terbarukan.

Pentingnya Kepastian Regulasi dan Pembiayaan Proyek.

Di sisi lain, Koordinator Riset Energi dan Sumber Daya Listrik IESR, His Muhammad Bintang, menekankan pentingnya kepastian regulasi dan tata kelola proyek yang transparan untuk mendorong partisipasi investor, termasuk kerja sama internasional seperti dengan Inggris.

Ia juga menyebutkan bahwa peraturan terkait Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) yang melibatkan aset penyimpanan energi dan pasar kapasitas perlu segera diperbarui agar Indonesia bisa memenuhi kebutuhan energi yang terus berkembang.

“Setelah kerangka hukum dan peraturan yang jelas diterapkan, skema dukungan untuk proyek penyimpanan energi akan sangat penting untuk meningkatkan kelayakan ekonomi proyek-proyek tersebut,” jelas Bintang.

Sebagai contoh, Inggris telah memperkenalkan skema lelang pasar kapasitas dan skema cap-and-floor untuk mendorong pengembangan proyek penyimpanan energi dan interkoneksi jangka panjang.

Skema ini bisa menjadi acuan bagi Indonesia, untuk mempercepat implementasi penyimpanan energi dan mendukung penetrasi energi terbarukan.

Kesimpulan: Menatap Masa Depan Energi Terbarukan.

Dengan langkah-langkah yang tepat, baik dalam pengembangan infrastruktur, pembaruan kebijakan, maupun kemitraan internasional, Indonesia dapat mempercepat transisi energinya.

Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan teknis dan ekonomi yang ada, dan memastikan transisi energi ini berjalan dengan lancar.

Pengalaman dari Inggris dan kerja sama internasional, seperti proyek GETI, akan memainkan peran penting dalam memastikan Indonesia dapat mencapai target ambisiusnya, untuk mewujudkan 100 persen energi terbarukan pada tahun 2035, sekaligus mendukung upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.

Diketahui bahwa Institute for Essential Services ReformInstitute for Essential Service Reform (IESR), adalah sebuah organisasi think tank yang secara aktif mempromosikan dan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan energi Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan kelestarian ekologis.

IESR terlibat dalam kegiatan seperti melakukan analisis dan penelitian, mengadvokasi kebijakan publik, meluncurkan kampanye tentang topik tertentu, dan berkolaborasi dengan berbagai organisasi dan institusi.

Penulis: Andi Isnar

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0878-8345-4028

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *