IESR Nilai Dokumen SNDC Indonesia Belum Cerminkan Ambisi Transisi Energi Menuju COP30.

DISCLAIMER: Penayangan ulang sebagian atau keseluruhan berita untuk konten akun media sosial komersil harus seizin Redaksi

JAKARTA, literasikaltim.com — Menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) yang akan berlangsung di Brasil pada November 2025, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menggelar konsultasi publik Second Nationally Determined Contribution (SNDC) atau Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional Kedua, Kamis (23/10/2025).

Namun, dalam analisis terbarunya, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai dokumen SNDC tersebut, masih belum mencerminkan ambisi tinggi yang diperlukan untuk mendukung komitmen global menjaga kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C.

Bahkan, dokumen ini dinilai tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto, yang menargetkan 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.

Dalam laporan berjudul “Analisis IESR terhadap SNDC Indonesia 2025”, lembaga ini menyoroti bahwa pemerintah memang melakukan perubahan mendasar dalam metodologi penetapan target emisi.

Jika pada dokumen NDC pertama (2016) penurunan emisi dihitung berdasarkan skenario business as usual (BAU), maka dalam SNDC kali ini target ditetapkan secara absolut dengan tahun acuan 2019.

Dokumen SNDC Indonesia memuat tiga skenario proyeksi emisi, yakni:

  1. Current Policy Scenario (CPOS) – skenario tanpa syarat (unconditional);
  2. Low Carbon Compatible Pathway Low (LCCP-L) – skenario bersyarat dengan pertumbuhan ekonomi rendah (6–6,7%);
  3. Low Carbon Compatible Pathway High (LCCP-H) – skenario bersyarat dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (7–8,3%).

Namun, IESR menilai perubahan format ini tidak diikuti peningkatan ambisi mitigasi, karena justru memperlihatkan kenaikan total emisi nasional hingga 2035 dibandingkan kondisi emisi tahun 2019.

Dalam skenario LCCP-H, emisi gas rumah kaca Indonesia (setelah memperhitungkan penyerapan dari sektor kehutanan/FOLU) diproyeksikan mencapai 1.489 juta ton CO₂e pada 2035, atau naik sekitar 30 persen dari tahun acuan.

Sementara tanpa memperhitungkan penyerapan karbon dari hutan (gross emission), total emisi bisa mencapai 1.696 juta ton CO₂e.

IESR menilai proyeksi penurunan emisi tersebut masih terlalu mengandalkan sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) sebagai sumber utama serapan karbon, sementara sektor energi, penyumbang emisi terbesar, belum menunjukkan langkah penurunan signifikan.

Dalam SNDC, penyerapan karbon dari FOLU ditargetkan mencapai -207 juta ton CO₂e pada 2035, angka yang dinilai tidak realistis dan justru menutupi kewajiban penurunan emisi dari sektor energi, industri, dan transportasi.

Akibatnya, puncak emisi nasional baru diperkirakan akan terjadi pada 2035, jauh dari rekomendasi ilmiah yang menyebutkan bahwa negara berkembang seperti Indonesia seharusnya mencapai puncak emisi paling lambat 2030.

“Upaya mitigasi seharusnya dilakukan lebih cepat dalam dekade ini, dan jika ditunda hingga 2035, maka biaya dan dampak ekonominya akan jauh lebih besar,” tulis IESR dalam laporan analisisnya.

IESR menegaskan, target emisi dalam SNDC juga belum selaras dengan lintasan 1,5°C sebagaimana dianalisis oleh Climate Action Tracker (CAT).

Untuk tetap berada di jalur Paris Agreement, emisi absolut Indonesia pada 2035 seharusnya tidak lebih dari 720 juta ton CO₂e (di luar FOLU).

Sementara itu, target yang disampaikan pemerintah justru lebih tinggi dari proyeksi RPJPN 2025–2045, yang menetapkan emisi 760 juta ton CO₂e (termasuk FOLU) pada 2035.

Kondisi ini menunjukkan bahwa, SNDC belum mencerminkan peningkatan ambisi dibanding NDC sebelumnya, padahal Pasal 4 Persetujuan Paris mewajibkan setiap negara meningkatkan ambisi iklim secara bertahap dalam setiap pembaruan.

Sektor energi disebut, sebagai kontributor utama kenaikan emisi Indonesia.

Dalam skenario LCCP-H, emisi sektor energi diperkirakan mencapai 1.336 juta ton CO₂e pada 2035, meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2019.

Pemerintah memang menargetkan peningkatan bauran energi terbarukan menjadi 19–23 persen pada 2030, lalu 36–40 persen pada 2040, namun target ini dinilai masih jauh dari kebutuhan jalur 1,5°C yang mengharuskan setidaknya 50 persen energi bersih pada 2035.

Selain itu, puncak emisi sektor energi kini mundur menjadi 2038, padahal dalam draf SNDC sebelumnya, puncak emisi direncanakan terjadi 2035.

IESR menyebut kemunduran ini, menunjukkan kurangnya komitmen nyata pemerintah dalam mempercepat transisi energi.

IESR juga menyoroti bahwa, SNDC tidak mencerminkan visi energi bersih yang digagas Presiden Prabowo Subianto, yakni 100 persen energi terbarukan dalam satu dekade.

Selain itu, program besar seperti pembangunan 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), yang disebut akan menyasar desa-desa belum tercantum dalam dokumen SNDC sebagai langkah mitigasi eksplisit.

“Ketiadaan roadmap transisi energi nasional dalam SNDC, membuat arah kebijakan iklim Indonesia tampak tidak sinkron dengan rencana pembangunan jangka panjang,” tulis IESR.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menegaskan, Pemerintah perlu segera melakukan transformasi energi menyeluruh, agar tidak tertinggal dalam upaya global menuju nol emisi.

“Dengan potensi energi terbarukan, yang mencapai 3.800 gigawatt dan biaya pembangkitan yang terus turun, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk menunda transisi energi,” ujar Fabby.

“Energi terbarukan kini lebih murah daripada PLTU, dan jika Pemerintah terus menahan pembangkit fosil agar tetap beroperasi, Kita justru kehilangan peluang menekan biaya listrik dan menciptakan lapangan kerja hijau.”

Fabby juga mengingatkan bahwa, pandangan dalam SNDC yang menganggap aksi iklim ambisius sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi adalah keliru.

Ia menegaskan, hasil kajian Low Carbon Development Indonesia (LCDI) dari Bappenas, justru menunjukkan bahwa aksi iklim yang kuat mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, sekaligus menciptakan peluang investasi baru.

“Transisi energi yang ambisius dapat menarik investasi hingga 40–50 miliar dolar AS per tahun. Ini bukan beban ekonomi, tapi justru peluang bagi masa depan Indonesia,” tegasnya.

Menjelang COP30, IESR menyerukan agar Pemerintah meninjau ulang SNDC dan meningkatkan target emisi secara signifikan, sebelum pertemuan di Brasil.

Indonesia, menurut lembaga ini, memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin kawasan Asia Tenggara dalam transisi energi bersih, asalkan berani mengambil langkah konkret dan meninggalkan ketergantungan pada energi fosil.

“Dunia sedang bergerak menuju energi bersih. Indonesia tidak boleh menunggu sampai terlambat,” pungkas Fabby Tumiwa.

Penulis: Andi Isnar

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0878-8345-4028

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *