JAKARTA, literasikaltim.com – Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius dalam upaya transisi menuju energi bersih.
Dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025–2060, Pemerintah menargetkan penambahan total kapasitas energi terbarukan sebesar 269 gigawatt (GW), atau sekitar 10,1 GW per tahun selama 35 tahun ke depan.
Sebagai langkah mendukung target tersebut, PT PLN (Persero) menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, dengan rencana penambahan kapasitas hingga 42,1 GW dari sumber energi terbarukan pada 2034.
Namun, hingga Agustus 2025, kapasitas pembangkit energi terbarukan nasional baru mencapai 15,2 GW, atau belum genap satu persen dari total potensi teknis energi terbarukan Indonesia sebesar 3,66 terawatt (TW).
Kondisi ini, menunjukkan perlunya langkah nyata dalam mempercepat investasi dan pengembangan energi hijau di tanah air.
Dalam forum Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 yang digelar di Jakarta, Selasa (7/10/2025), Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan didukung oleh Kedutaan Besar Inggris di Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI), menyoroti lambatnya adopsi energi terbarukan di Indonesia yang sebagian besar disebabkan oleh proses pengadaan proyek yang belum transparan dan belum terstruktur secara menyeluruh.
Koordinator Transisi Sistem Ketenagalistrikan IESR, Dwi Cahya Agung Saputra, menjelaskan bahwa proses perencanaan energi terbarukan perlu mempertimbangkan kapasitas sistem tenaga listrik nasional dalam menerima pasokan dari pembangkit baru.
“Beberapa proyek pembangkit berbasis fosil masih berjalan dalam RUPTL terbaru. Ditambah lagi, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batubara membuat biaya listrik dari PLTU tampak lebih murah dibandingkan energi terbarukan, dan akibatnya, tarif energi terbarukan kalah bersaing dan kurang menarik bagi investor,” jelas Dwi Cahya.
Menurutnya, dalam tahap pra-lelang dan lelang proyek, pengembang energi harus lebih dahulu masuk ke dalam Daftar Penyedia Terseleksi (DPT).
Namun, proses ini dinilai belum cukup transparan. Padahal, keterbukaan informasi sangat penting untuk mendorong kompetisi yang sehat dan meningkatkan minat investor.
“Indonesia belum memiliki kalender pengadaan proyek energi terbarukan yang jelas dan berjangka panjang, dan akibatnya, pasar dan pengembang sulit mempersiapkan diri,” tambahnya.
Selain itu, Dwi juga menyoroti kendala lain seperti izin lahan yang berlarut, tumpang tindih tata ruang, hingga penolakan masyarakat lokal, yang sering kali memperlambat proses konstruksi proyek energi terbarukan.
Untuk mengatasi berbagai hambatan tersebut, IESR mengajukan tiga rekomendasi utama kepada pemerintah dan PLN:
- Memperbaiki proses perencanaan dengan meningkatkan transparansi serta partisipasi publik dalam penyusunan dan revisi RUPTL.
- Mereformasi mekanisme pengadaan dengan menerapkan jadwal pembaruan DPT yang tetap dan diawasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), serta membuka peluang bagi pengembang baru dan startup energi bersih.
- Memperkuat peran PLN melalui pembentukan entitas atau anak perusahaan khusus sebagai pelaksana pengadaan energi terbarukan, dan mendelegasikan proyek berkapasitas kecil (<10 MW) ke PLN wilayah dengan skema feed-in tariff nasional.
Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara, menambahkan bahwa percepatan pengembangan energi terbarukan tidak hanya penting untuk dekarbonisasi sektor energi, tetapi juga berdampak langsung terhadap pengentasan kemiskinan energi di wilayah timur Indonesia.
“Peningkatan adopsi energi bersih, terutama di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, akan memberi akses energi yang lebih andal, terjangkau, dan ramah lingkungan bagi masyarakat,” ujar Raditya.
Dalam paparannya, Raditya menjelaskan bahwa Pulau Timor memiliki potensi energi terbarukan mencapai 30,81 GW, dengan energi surya sebagai potensi terbesar sebesar 20,72 GW.
Pemerintah Provinsi NTT bahkan menargetkan 47 persen energi terbarukan pada 2034 sesuai rancangan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).
IESR merekomendasikan strategi bertahap, yaitu pembatalan proyek PLTU dan PLTG dalam jangka pendek (2025–2035), serta pensiun dini pembangkit fosil dalam jangka panjang (2036–2050).
Total investasi yang dibutuhkan untuk menjadikan Pulau Timor 100 persen berbasis energi terbarukan mencapai USD 1,54 miliar hingga 2050.













