GUBERNUR HARUM, PERS, DAN DEMOKRATISASI KALTIM.

DISCLAIMER: Penayangan ulang sebagian atau keseluruhan berita untuk konten akun media sosial komersil harus seizin Redaksi

Oleh: H. Andi Saharuddin
(Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Samarinda)

Di jantung demokrasi Kalimantan Timur (Kaltim), relasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) dengan media massa seperti dua kepak sayap burung.

Bila salah satu terluka, demokrasi sulit mengangkasa di langit Banua Etam.

Selama ini, relasi pers dengan Pemprov Kaltim, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta badan dan lembaga di Kaltim terjalin harmonis.

Sayangnya, harmoni itu sempat terusik oleh insiden tak terduga, baru-baru ini.

Bermula ketika Gubernur Kaltim Dr. H. Rudy Mas’ud, S.E., M.E. (Harum) baru saja menghadiri penandatangan kerjasama antara Pemrpov Kaltim dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Usai acara tersebut, Gubernur Harum dicegat wartawan yang hendak mewawancarainya di koridor Kantor Gubernur.

Di tengah wawancara, ketegangan membuncah. Kisahnya sudah viral, tak perlu diurai ulang.

Hemat saya, yang terpenting dari insiden ini adalah bagaimana penyikapannya.

Dari penyikapan inilah, hikmah sebuah peristiwa bisa menjadi pelajaran.

Dalam perspektif itu, saya menilai positif sikap Gubernur Harum yang menunjukkan sikap kenegarawanan.

Ia secara terbuka menyampaikan permintaan maaf kepada para jurnalis.

Dan ini, sebuah cermin sikap yang memantulkan wajah demokratis Pemprov Kaltim.

Kenegarawanan memang bukan hanya soal keberanian memperjuangkan kebenaran, tetapi juga keberanian mengakui kekeliruan.

Bahkan jika kekeliruan itu berasal dari staf, yang harus diambil alih oleh pimpinan.

Langkah ini, memberi pesan kuat bahwa ruang publik tidak boleh ternodai oleh arogansi kekuasaan.

Dan pemprov Kaltim, sebagai episentrum kekuasaan Banua Etam telah menjadi teladan bagi institusi lainnya.

Permintaan maaf Gubernur agaknya bukan gestur politik simbolik semata.

Upaya membangun dialog dan komunikasi konstruktif, kuat meredakan eskalasi.

Inisiasi Gubernur Harum mengundang sejumlah awak media lokal layak diapresiasi.

Ujian Demokrasi.

Apa yang bisa dipetik? Pertama, bahwa dinamika pasang dan surut adalah hal yang lumrah terjadi antar-institusi penyangga demokrasi.

Justru, dalam situasi pasang dan surut itulah kualitas demokrasi kita sedang diuji.

Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki mandat untuk bertanya, mengkritik, dan mengawasi jalannya roda kekuasaan.

Pertanyaan wartawan memang acapkali terasa menyudutkan, tetapi bagaimana pun juga, mereka bekerja demi memenuhi hak publik untuk tahu apa yang dikerjakan pemerintah.

Di sisi lain, pemerintahan yang demokratis dituntut memiliki kelapangan hati dan kematangan dalam merespons kritik, bukan membungkamnya.

Pada titik ini, Saya mengapresiasi respon Gubernur Harum atas insiden itu.

Kedua, apresiasi yang sama juga Saya sampaikan atas sikap jurnalis Kaltim yang dewasa merespons insiden tersebut.

Tak ingin terjebak dalam emosi yang berpotensi menajamkan eskalasi konfrontatif, para jurnalis setuju memilih jalur dialog dan klarifikasi, sebagai dimensi esensial demokrasi.

Saya mengangkat dua jempol untuk kedewasaan itu, dan ini menunjukkan bahwa ekosistem pers di Kaltim tidak hanya berkembang secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif.

Ini menandakan bahwa pers Kaltim telah bergerak ke arah yang lebih matang, menjalankan mandatnya sebagai pilar demokrasi dengan etika profesional yang tinggi.

Ketiga, insiden itu mengajarkan pentingnya membangun budaya politik yang akuntabel di lingkungan birokrasi.

Seorang pemimpin daerah tidak hanya diukur dari kecakapannya merumuskan kebijakan, tetapi juga kebijaksanaannya merespon krisis komunikasi secara terbuka.

Gubernur Harum menunjukkan bahwa kekuasaan yang sehat tidak alergi pada kritik.

Dan upaya membela staf tidak berarti membenarkan tindakan yang keliru. Justru, melalui klarifikasi dan koreksi terbuka, Pemprov Kaltim menunjukkan bahwa tanggung jawab publik lebih utama daripada gengsi institusional.

Dalam jangka panjang, sikap seperti ini akan membangun kepercayaan publik.

Keempat, bahwa di balik insiden selalu terdapat hikmah yang bisa menjadi momentum pembenahan.

Langkah gubernur mengevaluasi komunikasi pemprov adalah tepat.

Langkah ini bukan sekadar manajemen krisis, tetapi investasi jangka panjang guna menciptakan tata kelola informasi yang transparan, akuntabel, profesional dan berorientasi pada pelayanan publik.

Kelima, Pemprov bekerja menyelenggarakan kebijakan, media mengawal jalannya kebijakan.

Meski keduanya memiliki mandat berbeda, insiden ini membuktikan bahwa pers dan Pemprov tidak saling memunggungi.

Saat kedua institusi demokrasi ini duduk dalam ruang yang sama, saling mendengar dan menghargai peran masing-masing, di sanalah demokrasi bersemi.

Sedikit gesekan bukanlah musibah. Buktinya ada pada kelima poin di atas.

Miniatur Tantangan Indonesia.

Insiden koridor kantor gubernur sejatinya adalah miniatur dari tantangan besar Indonesia merawat demokrasi.

Di tengah kompleksitas zaman, demokrasi tidak bisa lagi hanya dimaknai sebagai sistem politik prosedural.

Demokrasi harus menjadi budaya kewargaan yang hidup.

Harus disadari, hadirnya Ibu Kota Nusantara mengantar Kaltim menjadi episentrum baru pembangunan nasional.

Untuk itu, Kaltim membutuhkan ekosistem politik dan komunikasi yang berkelas.

Ketika perhatian nasional dan global tertuju ke Kaltim, maka profesionalisme birokrasi menjadi wajah pertama peradaban Banua Etam yang menyapa mereka, dan pers adalah cermin yang memantulkan wajah itu

Karena itu, membangun relasi yang sehat antara pemerintah dan media bukan sekadar urusan teknis komunikasi.

Ini merupakan perwujudan karakter kebangsaan kita yang inklusif, terbuka, dan siap menerima koreksi sebagai nutrisi untuk tumbuh lebih baik. Itulah demokrasi.

Insiden koridor Kantor Gubernur sesungguhnya memberi optimisme bahwa di tengah erosi kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik, bangsa ini masih menyisakan pemimpin daerah yang mau mengakui kesalahan tanpa defensif.

Dan masih ada jurnalis yang merawat idealisme, bersuara lantang tanpa niat menjatuhkan.

Insiden koridor kantor gubernur juga memberi pesan bahwa di balik ketegangan dalam dinamika relasi antar-institusi penyangga demokrasi, selalu terbuka opsi dialog.

Pada titik ini, nyata bahwa demokrasi bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling siap mengedepankan kepentingan bersama di atas ego sektoral.

Saya berharap semangat itu terus dirawat dan ditumbuhkan, agar Kaltim tidak hanya bertumbuh menjadi pusat ekonomi baru Indonesia, tetapi juga menjadi lumbung nilai-nilai demokrasi modern.***

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0878-8345-4028

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *