Diskusi Sepihak Soroti Ketimpangan Tata Kelola STS Batu Bara di Kaltim: Daerah Menanggung Dampak, Tanpa Kontribusi Nyata ke APBD.

Desak Regulasi Adil untuk Bongkar Muat Batu Bara di Kaltim.

SAMARINDA, literasikaltim.com – Polemik aktivitas bongkar muat batu bara melalui skema Ship-to-Ship (STS) di kawasan Muara Berau dan Muara Jawa, Kalimantan Timur, kembali menjadi sorotan dalam diskusi publik yang digelar Sentral Pengawasan Investasi, Hukum, dan Kebijakan Publik (Sepihak), Sabtu (19/4/2025) malam.

Diskusi bertajuk “Polemik Bongkar Muat dan Tata Kelola Pelabuhan (Ship to Ship) di Muara Berau dan Muara Jawa Wilayah Provinsi Kaltim” ini membedah aspek regulasi, royalti, dan kontribusi CSR yang selama ini dinilai belum berpihak pada daerah.

Dalam kegiatan yang menghadirkan akademisi Hairul Anwar, MA dan Suwardi Sagma, SH, M.Hum sebagai narasumber, terungkap bahwa Kalimantan Timur hanya menerima dampak lingkungan dari aktivitas bongkar muat batu bara, tanpa kontribusi berarti terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Padahal, potensi penerimaan daerah dari sektor ini dinilai sangat besar.

Usai kegiatan tersebut, Koordinator Diskusi Sepihak, Erlyando, menyoroti minimnya transparansi dan keterlibatan pemerintah daerah dalam proses penentuan tarif dan regulasi STS.

Menurutnya, diskusi ini bertujuan memantik kesadaran publik serta mendorong pihak-pihak berwenang untuk bersuara.

“Kegiatan ini bukan semata membahas teknis bongkar muat, tetapi lebih jauh menggugat ketimpangan regulasi dan distribusi manfaat ekonomi antara pusat dan daerah,” ucapnya saat di wawancarai media ini.

“Daerah hanya menerima dampak, sementara pemasukan besar justru mengalir ke pusat melalui PNBP tanpa pembagian yang adil,” ujar Erlyando.

Lebih lanjut, ia menyoroti ketiadaan data resmi yang dapat diakses publik, mulai dari dokumentasi aktivitas STS hingga rincian CSR dari perusahaan tambang.

Ia juga menilai DPRD maupun Pemerintah Daerah, seharusnya mengambil inisiatif memanggil pihak-pihak terkait untuk menjelaskan proses perizinan, tarif, dan dampaknya terhadap masyarakat.

Diskusi juga menyinggung ketidakterlibatan Gubernur Kaltim dalam rekomendasi pelaksanaan STS di wilayah laut 12 mil, yang sebenarnya masuk dalam Otoritas Provinsi.

Di tempat yang sama, Hairul Anwar menyatakan bahwa wilayah tersebut secara hukum merupakan domain Pemerintah Daerah, yang seharusnya dapat mengatur pemanfaatannya, termasuk melalui BUMD ataupun regulasi khusus.

“Kegiatan STS memang penting untuk efisiensi distribusi batu bara yang sebagian besar diekspor, namun perlu dicari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian lingkungan serta penghidupan nelayan lokal,” kata Hairul.

Ia menjelaskan bahwa transhipment atau pengalihan muatan batu bara dari kapal kecil ke kapal besar memang sudah lama terjadi.

Namun persoalan muncul karena minimnya pengawasan, regulasi yang belum berpihak pada lingkungan, serta dampak langsung terhadap nelayan pesisir yang ruang tangkapnya semakin menyempit.

Diskusi juga menyingkap adanya indikasi kerugian negara hingga triliunan rupiah yang tidak tercatat akibat proses ini, serta ketidakterlibatan masyarakat dalam skema CSR perusahaan.

Selain itu, blending batu bara—proses pencampuran batubara untuk menyesuaikan kadar kalori—yang juga menjadi bagian dari kegiatan STS, disebut-sebut memberi nilai tambah ekonomi bagi perusahaan, tanpa kontribusi setimpal pada negara maupun daerah.

Erlyando menyebutkan bahwa masalahnya bukan sekadar teknis bongkar muat, tapi lebih kepada ke mana hasilnya mengalir.

“Selama ini, publik tidak mengetahui bahwa dari proses STS saja, ada potensi besar yang tidak masuk ke kas daerah,” lanjutnya.

Diskusi ini menegaskan pentingnya keterlibatan aktif pemerintah provinsi dalam mengatur titik-titik STS agar tidak merusak lingkungan pesisir, serta menegaskan peran strategis DPRD Kaltim, dalam mengawal tata kelola tambang secara lebih berpihak pada kepentingan daerah dan masyarakat.

Forum ini juga, mendorong DPRD Kaltim dan Pemerintah Daerah, agar lebih aktif menindaklanjuti isu tersebut, termasuk melalui pemanggilan pihak-pihak terkait seperti KSOP Samarinda, Dinas Perhubungan Kaltim, hingga asosiasi pelayaran.

Penulis: Andi Isnar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *