![]()
Penulis : Hana Athiyyah Rahmah.
Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan lagi dengan potongan video dialog yang menunjukkan situasi di sebuah forum seminar, yang pada forum tersebut mengundang wakil Ketua DPR sebagai narasumber.
Yang membuat publik terheran-heran bahwa pada cuplikan video tersebut menyoroti statment yang dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR tersebut. Ia merespons pertanyaan dari peserta seminar dengan berkata, “saya tidak suka anak-anak muda arogan seperti ini,” namun tidak sampai di situ ia juga melemparkan komentar yang terdengar meremehkan secara spesifik profesi ahli gizi.
Dari cuplikan video tersebut membuat kita semua perlu merenungkan dan bertanya, mengapa seorang pejabat publik berbicara dengan cara seperti itu? dan yang lebih penting lagi, apakah pejabat publik sudah benar memahami cara bertutur kata yang baik di ruang publik karena semua ucapan yang di keluarkan sangat berkaitan dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat dan khususnya lembaga negara.
Hidup di negara demokrasi memang dianugerahi dengan kebebasan dalam mengekspresikan diri salah satunya melalui komunikasi, namun komunikasi tidak dapat dipandang hanya sebagai alat untuk menyampaikan informasi saja, singkatnya apa yang keluar dari mulut kita, itulah gambaran karakter kita dan hal ini berlaku khususnya bagi para pejabat publik yang berlabel sebagai pemimpin.
Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut pejabat publik adalah cerminan dari lembaga yang mereka wakili. Karena ketika seorang pejabat bernada meremehkan maka citra buruk itu tidak hanya melekat pada dirinya sendiri, tetapi berimbas juga pada lembaga yang ia naungi. Inilah yang menunjukkan mengapa satu pernyataan saja begitu berharga sebagai tolak ukur kepercayaan masyarakat kepada para pejabat publik.
Ketika mengamati data, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR memang tidak begitu menggembirakan. Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa 61,4% masyarakat hanya menyatakan cukup atau sangat percaya kepada DPR.
Dan yang benar-benar sangat percaya hanyalah 7,1% angka yang kecil untuk menilai suatu lembaga politik sebesar DPR. Survei lain juga turut mengkhawatirkan, sekitar 41% publik menyatakan tidak percaya pada DPR, dengan 8% di antaranya sangat tidak percaya. Data ini jelas sekali menggambarkan seberapa berpengaruhnya tutur kata di depan publik bagi para pejabat publik.
Karena dalam hal ini kita tidak sedang berbicara hanya soal etika saja melainkan menjadi suatu kebutuhan yang penting untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat. Fenomena seperti ini sebenarnya sudah seperti makanan sehari-hari bagi masyarakat kita.
Kita sering menyaksikan pejabat yang beragam rupanya, mulai dari yang anti kritik, tersinggung hingga melontarkan kalimat yang tidak pantas, meremehkan beberapa golongan masyarakat, bahkan hingga yang seluruh ucapannya tidak dapat dipahami oleh publik.
Menanggapi dari kasus video yang viral tersebut cukup menjelaskan kualitas public speaking pejabat publik di negara kita, padahal di negara demokrasi ini bertanya adalah bentuk kepedulian, bukan arogansi.
Posisi pejabat publik dalam forum-forum diskusi haruslah sebagai fasilitator dialog bukan bertindak sebagai penguasa yang ketika dia menyampaikan suatu hal kita hanya menganggukkan kepala tanda setuju, tetapi bagaimana ia menempatkan dirinya di depan publik sebagai pemimpin yang mengedepankan diskusi yang nyaman.
Ketika pejabat publik terus-terusan menjawab dengan nada tinggi, dan respons defensif seolah-olah publik adalah musuh. Hal ini menunjukkan bahwa pejabat di negeri ini tidak siap dalam menerima kritik serta belum mampu mengelola emosi dan komunikasi yang baik di depan publik.
Karena yang dinilai dari seorang pemimpin adalah bukan seberapa keras ketika dia berbicara, namun seberapa tenang dan bijaksananya dia dalam menjawab pertanyaan yang sulit. Bagian yang mengganggu kemudian dari video yang viral tersebut adalah statement meremehkan profesi ahli gizi.
Padahal dalam kegiatan tersebut sedang membahas MBG atau makan bergizi gratis yang menjadi salah satu program unggulan pemerintah saat ini. Secara konteks ketika pejabat publik mengatakan tidak membutuhkan ahli gizi dalam program ini, maka ada dua kemungkinan.
Pertama ia sama sekali tidak memahami substansi dari program tersebut, atau ia mengabaikan standar ilmiah untuk menyederhanakan retorika politik. Padahal ketika konteksnya adalah kebijakan publik, statment tersebut berbahaya untuk di lontarkan.
Karena tidak sejalan dengan kebutuhan pemerintah modern saat ini yang berbasis riset dan kolaborasi lintas disiplin. Ketika ilmu saja tidak dianggap penting, bagaimana kebijakan yang berkualitas dapat lahir.
Maka pada akhirnya, komunikasi pejabat bukan sebatas retorika, tetapi juga empati, kepekaan sosial, dan kemampuan dalam memahami situasi psikologis masyarakat. Tidak dapat dipungkiri masyarakat Indonesia hari ini semakin kritis, ini menunjukkan perkembangan dan kemelekan masyarakat dalam menanggapi isu sosial dan politik di negaranya.
Masyarakat kita tidak lagi hanya sekedar melihat kehadiran seorang pejabat, tetapi turut menyimak bagaimana pejabat itu berbicara, bagaimana ia menjawab pertanyaan, dan menanggapi suara publik.
Karena hari ini di tengah masyarakat yang mulai kritis, untuk membangun kepercayaan tidak hanya dibangun melalui status jabatannya, tetapi juga oleh kemampuan pejabat dalam menunjukkan kerendahan hari pada komunikasinya. Bahkan dalam indikator good governance sendiri kemampuan dalam komunikasi adalah salah satu indikator penunjangnya.
Maka bagaimana untuk menghindari kekesalan dan kegaduhan publik kuncinya hanya satu, belajar. Bukan berarti ketika menjadi pejabat publik sudah tidak perlu belajar lagi, justru ketika mengembang jabatan yang tinggi setiap hari adalah pembelajaran baru. pejabat publik sebelum berdialog di depan umum perlu penguasaan dalam topik yang akan dia sampaikan dan memahami fakta sebelum berbicara.
Memastikan apa yang akan dia keluarkan dari mulutnya adalah bentuk tanggung jawab atas jabatannya. Maka sebelum tampi di muka publik pejabat wajib berkonsultasi dengan tim ahli, memahami konteks, tujuan, dan juga indikator keberhasilan program.
Mengapa perlu, agar omongan yang keluar bukan sekedar omong kosong belaka, tetapi memiliki dasar yang konkret untuk di dengar dan menjadi konsumsi informasi kepada publik. Mudahnya semua pejabat publik harus belajar bagaimana public speaking yang baik dan latihan menjawab pertanyaan yang sulit. Karena berhati-hati dalam berbicara tidak cukup dijadikan sandaran bagi pejabat yang menampilkan wajah di depan publik.
Dari pemahaman public speaking yang baik kemudian akan menghasilkan statment yang miss di kemudian hari. Karena sebagai warga, kita berhak untuk berharap bahwa pejabat publik tampil dengan sikap yang menghargai masyarakat. Karena kepercayaan publik adalah modal yang paling penting dalam demokrasi.
Daftar Pustaka
Antara News. (2025). Formappi: Publik tunggu perubahan DPR jika ingin kepercayaan naik. https://www.antaranews.com/berita/4613766/formappi-publik-tunggu-perubahan-dpr-jika-ingin-kepercayaan-naik?utm_source
Antara News Megapolitan. (2025). Publik tunggu perubahan DPR jika ingin kepercayaan naik. https://megapolitan.antaranews.com/berita/344306/publik-tunggu-perubahan-dpr-jika-ingin-kepercayaan-naik?utm_source
Indikator Politik Indonesia. (2024, Januari). Survei tingkat kepercayaan publik terhadap DPR. Jakarta: Indikator Politik Indonesia. https://indikator.co.id
Kompas. (2025). Kepercayaan publik rendah, DPR diminta berbenah. https://www.kompas.id/artikel/kepercayaan-publik-rendah-dpr-diminta-berbenah?utm_source
Kompas.com. (2025, Januari 24). Survei Litbang Kompas: Tren citra DPR masih bertahan di papan bawah
Murianetwork. (2025). Survei 2025: DPR RI catat tingkat ketidakpercayaan publik tertinggi 41%. https://www.murianetwork.com/politik/pr-101878/survei-2025-dpr-ri-catat-tingkat-ketidakpercayaan-publik-tertinggi-41?utm_source
Survei Publik Nasional 2025. (2025). Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR. Jakarta: [Sumber survei publik 2025].












