Sirekap Bermasalah di Pedalaman, Yogo: Tanpa Literasi Publik, Pemilu Hanya Formalitas.
SAMARINDA, literasikaltim.com – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar kegiatan Penguatan Kelembagaan Bawaslu bersama Mitra Kerja di Hotel Bumi Senyiur, Samarinda, Senin (25/8/2025).
Forum ini mengusung tema “Peningkatan Peran serta dan Partisipasi Masyarakat dalam Mengawal Demokrasi di Provinsi Kaltim”, dan dihadiri berbagai pemangku kepentingan, mulai dari Kepala Kesbangpol Pemprov Kaltim Drs. H. Sufian Agus, M.Si yang mewakili Gubernur Kaltim, anggota DPR RI Komisi II, tokoh masyarakat, mahasiswa, hingga perwakilan partai politik.
Salah satu pemateri utama, Dr. Yogo Pamungkas, S.H., M.Hum., Tenaga Ahli DPR RI sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, menekankan sejumlah evaluasi kritis terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024.
Ia menyoroti beberapa titik rawan yang menurutnya harus segera dibenahi agar kualitas demokrasi tidak mundur.
“Masih ditemui indikasi ketidaknetralan penyelenggara ad hoc maupun ASN yang ikut dalam aktivitas kampanye,” ucapnya.
“Dan, kondisi ini menurunkan kepercayaan publik dan memicu sengketa. Solusinya adalah memperkuat kode etik serta memastikan sanksi tegas melalui DKPP dan KASN,” tegas Yogo.
Selain itu, ia menyoroti praktik politik uang yang dinilai masih tinggi, baik di kota besar maupun daerah dengan basis pemilih tertentu.
Menurutnya, praktik tersebut merusak kualitas demokrasi dan menghasilkan pemimpin yang tidak akuntabel.
“Optimalisasi kerja Gakkumdu, patroli pengawasan terpadu, serta kampanye Tolak Politik Uang yang berkelanjutan harus dilakukan,” tambahnya.
Dalam paparannya, Yogo juga mengkritisi aspek teknis, terutama penggunaan aplikasi Sirekap di wilayah pedalaman.
Gangguan jaringan yang kerap terjadi membuat proses unggah dan rekapitulasi suara terlambat sehingga menimbulkan kecurigaan publik.
Ia menyarankan solusi berupa backup manual, mode offline, serta percepatan penguatan infrastruktur jaringan.
Meski tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 mencapai 79 persen, Yogo menilai kesadaran hukum masyarakat masih rendah.
Pemilih dianggap rentan terpapar hoaks, dan isu SARA yang berpotensi memicu konflik politik.
“Dibutuhkan pendidikan pemilih berkelanjutan, literasi digital, serta pembentukan sekolah pengawasan permanen,” paparnya.
Persoalan sengketa administrasi juga menjadi perhatian, dan menurut Yogo, tumpang tindih aturan dan minimnya pemahaman peserta pemilu, membuat proses penyelesaian sengketa panjang dan membebani kerja pengawas.
Ia mengusulkan penyederhanaan SOP, pelatihan mediator, serta digitalisasi sistem pelaporan agar lebih efisien.
Dalam forum tersebut, Yogo turut menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait wacana pemilihan Kepala Daerah tidak langsung.
Menurutnya, meski dianggap efisien dari sisi biaya, kebijakan ini berpotensi mengurangi hak politik rakyat.
“Pemilihan tidak langsung bisa menjadi tanda kemunduran demokrasi. Ada risiko praktik politik transaksional semakin besar, dan pemimpin daerah akan lebih ditentukan elit partai daripada rakyat,” jelasnya.
Ia menegaskan, sikap DPR RI masih berhati-hati menanggapi putusan tersebut, karena dianggap berpotensi bertentangan dengan UUD 1945.
“Transisi politik ini masih sangat dinamis. Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pemangku kepentingan sangat penting,” pungkas Yogo.

Kegiatan ini diakhiri dengan penegasan komitmen bersama bahwa, keberhasilan demokrasi di Kaltim membutuhkan sinergi antara Bawaslu, Pemerintah, partai politik, akademisi, dan terutama masyarakat sebagai pengawas aktif jalannya pemilu.
Penulis: Rizky Aulia Pratama
Editor: Andi Isnar