![]()
JAKARTA, literasikaltim.com – Institute for Essential Services Reform (IESR) kembali menyoroti tingginya kontribusi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara terhadap kenaikan emisi sektor ketenagalistrikan Indonesia.
Dalam konferensi Brown to Green: Unlocking Enabling Environments for Indonesia to Transition Beyond Coal yang digelar pada 3 Desember 2025, IESR memaparkan data terbaru yang menunjukkan urgensi percepatan transisi energi bersih di Tanah Air.
Dalam laporannya, IESR mengungkap bahwa PLTU batu bara yang beroperasi di jaringan PLN dengan kapasitas terpasang 85 gigawatt (GW), telah memicu kenaikan rata-rata emisi sebesar 8 persen per tahun dalam lima tahun terakhir.
Total emisi yang dihasilkan dari PLTU jaringan tersebut, mencapai 352 juta ton setara karbon dioksida (CO₂e) pada 2024.
Tak hanya itu, emisi signifikan juga bersumber dari PLTU captive, pembangkit milik industri yang digunakan untuk kebutuhan internal.
Dengan kapasitas mencapai 31,1 GW, PLTU captive menyumbang sekitar 131 juta ton CO₂e pada 2024, atau setara 37 persen dari total emisi sektor listrik nasional.
IESR menilai dominasi PLTU captive menjadi tantangan serius bagi upaya menurunkan emisi secara komprehensif.
Manajer Program Sistem Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo, menegaskan bahwa Indonesia harus bergerak lebih cepat dalam mengurangi ketergantungan pada batu bara.
Menurutnya, peningkatan energi terbarukan akan sulit optimal jika tidak dibarengi dengan kebijakan penghentian bertahap PLTU batu bara.
“Pemerintah perlu memberikan sinyal kuat dengan melarang pembangunan PLTU baru, serta mewajibkan pengurangan emisi pada PLTU yang telah beroperasi lebih dari 10 tahun,” ucapnya melalui keterangan tertulis ke media ini, Jum’at (5/12/2025).
“Selain itu, seluruh PLTU harus dipensiunkan pada 2050 agar Indonesia tidak tertinggal dalam persaingan global,” ujar Deon.
Ia menjelaskan bahwa, pengalaman Inggris menunjukkan transisi dari ekonomi berbasis batu bara membutuhkan perencanaan panjang dan langkah konkret sejak dini.
Karena itu, Indonesia perlu memastikan kesiapan industri, pekerja, dan pemerintah daerah melalui rencana transisi yang jelas.
IESR juga mendorong penerapan operasi fleksibel pada PLTU sebagai langkah awal, sambil membuka ruang lebih besar bagi integrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan Nasional.
Di sisi lain, pemerintah diharapkan menyusun roadmap fleksibilitas listrik dan melakukan revisi kontrak PPA PLTU, agar memungkinkan pengoperasian yang lebih adaptif.
Selain persoalan PLTU jaringan PLN, IESR menekankan perlunya langkah tegas mengatasi dominasi PLTU captive di sektor industri.
Pembukaan akses listrik hijau melalui mekanisme penggunaan bersama jaringan (power wheeling), kemudahan perizinan pemasangan PLTS dan BESS, serta penyediaan insentif dinilai penting untuk percepatan perubahan.
Untuk mendukung proses transisi berbasis data, IESR turut memperkenalkan Coalradar.id, platform informasi interaktif yang menyajikan data produksi batu bara, PLTU, aliran fiskal, hingga pemetaan kerentanan ekonomi daerah terhadap penurunan industri batu bara.
Platform ini, diharapkan menjadi rujukan penyusunan kebijakan pembangunan daerah yang lebih tepat sasaran.
IESR menekankan bahwa, tanpa langkah nyata mengurangi dominasi batu bara, Indonesia akan menghadapi risiko menurunnya daya saing, terlebih dengan diberlakukannya CBAM Uni Eropa pada 2026, dan meningkatnya tuntutan perusahaan global terhadap energi rendah emisi.
“Transisi energi bukan hanya isu lingkungan, tetapi kebutuhan strategis untuk menjaga daya saing ekonomi Indonesia ke depan,” pungkasnya.
Penulis: Andi Isnar
Sumber: IESR














