JAKARTA, literasikaltim.com – Di tengah cuaca ekstrem dan suhu panas yang melanda berbagai wilayah Indonesia, isu perubahan iklim kembali menjadi sorotan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong Pemerintah Indonesia, agar menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang lebih ambisius dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) 3.0, sebagai bukti komitmen nasional dalam menanggulangi krisis iklim global.
Chief Executive Officer (CEO) IESR Fabby Tumiwa menilai, draf NDC 3.0 yang telah dikomunikasikan oleh National Focal Point, masih belum cukup kuat menjawab urgensi krisis iklim saat ini.
Menurutnya, baik target bersyarat (conditional) maupun tidak bersyarat (unconditional) dalam draf tersebut, belum sejalan dengan tujuan Persetujuan Paris, yaitu menahan laju kenaikan suhu global di bawah 2°C dan berupaya membatasinya hingga 1,5°C.
“Target tidak bersyarat masih memungkinkan peningkatan emisi hingga pertengahan abad ini, sementara target bersyarat baru menunjukkan penurunan signifikan setelah tahun 2035,” ucapnya melalui keterangan tertulis ke media ini, Senin (20/10/2025).
“Penundaan aksi iklim ini berisiko menimbulkan beban ekonomi tinggi dan menghambat target Indonesia Emas 2045,” tegas Fabby.
IESR menilai, masih ada peluang besar bagi Indonesia untuk mempercepat penurunan emisi sebelum tahun 2035, salah satunya dengan mempercepat transisi energi bersih.
Fabby menjelaskan, langkah konkret dapat dimulai dengan pensiun dini PLTU batu bara, penggantian 3,4 gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) milik PLN, serta pembangunan 100 GW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dalam lima tahun ke depan.
IESR menyoroti bahwa anomali cuaca dan gelombang panas, yang kini melanda Indonesia bukan lagi sekadar fenomena musiman, melainkan sinyal nyata dari meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer.
“Krisis ini sudah di depan mata, dan tanpa langkah berani dari Pemerintah, dampaknya akan semakin berat bagi ekonomi dan kehidupan masyarakat,” ungkap Fabby.
Karena itu, IESR mendesak pemerintah untuk segera menyerahkan dokumen NDC 3.0 kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebelum Conference of the Parties (COP) ke-30, yang akan berlangsung November 2025.
Langkah ini, dinilai penting sebagai wujud solidaritas global dan kepemimpinan Indonesia, dalam upaya penanganan perubahan iklim.
Dalam laporannya, IESR menyampaikan empat langkah strategis yang perlu diambil Pemerintah, agar target penurunan emisi dapat tercapai:
- Pensiun dini PLTU batu bara berkapasitas 9 GW secara bertahap hingga 2035, disertai penggantian dengan pembangkit energi terbarukan hingga 100 GW.
- Reformasi subsidi bahan bakar fosil untuk menekan konsumsi energi yang boros dan mengurangi ketergantungan pada impor BBM.
- Percepatan efisiensi energi di sektor industri dan bangunan melalui standardisasi, sertifikasi, dan akses pendanaan untuk teknologi hemat energi.
- Implementasi komitmen Global Methane Pledge dengan menurunkan emisi gas metana sebesar 30 persen pada tahun 2030, sebagaimana telah disetujui Presiden Joko Widodo pada 2021.
Berdasarkan analisis Climate Action Tracker (CAT), di mana IESR merupakan salah satu anggotanya, agar selaras dengan jalur 1,5°C, Indonesia perlu menurunkan emisi GRK menjadi 850 juta ton CO₂e pada 2030 dan 720 juta ton CO₂e pada 2035, di luar kontribusi sektor lahan dan kehutanan (FOLU).
Sementara menunggu penerbitan NDC 3.0, pemerintah telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025, tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, pada 10 Oktober 2025.
IESR menilai langkah tersebut, sebagai kemajuan signifikan dalam penyelarasan kebijakan karbon dengan aktivitas ekonomi nasional.
Namun, Fabby mengingatkan pentingnya mekanisme perlindungan (safeguard) yang menjamin integritas pasar karbon, agar tidak terjadi kecurangan karbon (carbon fraud), serta menjaga kepercayaan publik dan pelaku pasar internasional.
“Pasar karbon harus berjalan dengan transparan, akuntabel, dan selaras dengan prinsip perlindungan lingkungan,” katanya.
“Dan, tanpa sistem safeguard yang kuat, kredibilitas Indonesia di mata dunia bisa terancam,” pungkasnya.
Penulis: Andi Isnar













