BONTANG, literasikaltim.com – Sengketa lahan di Kelurahan Guntung, Kecamatan Bontang Utara, kembali menguak sisi gelap tata kelola agraria di Indonesia.
Kuasa pengurus lahan milik warga, Syahrudin, melayangkan somasi terbuka kepada PT Pupuk Kaltim.
Tuduhannya serius: sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikantongi perusahaan disebut cacat hukum, lahir dari proses yang tidak transparan, dan mengabaikan hak rakyat kecil.
“Kami tidak mengakui setiap dalil PT Pupuk Kaltim. Fakta historis dan yuridis ada di pihak Kami,” ucapnya, saat di wawancarai media ini melalui pesan WhatsApp, Minggu (17/8/2025).
“Lahan ini sudah digarap warga sejak 1987 dengan dokumen sah dari 1988, dan bagaimana mungkin perusahaan tiba-tiba muncul membawa sertifikat di atas tanah rakyat?” tegas Syahrudin.
Konflik ini menyingkap jurang kesenjangan antara warga lokal dengan salah satu perusahaan pupuk terbesar di Asia Tenggara.
Di satu sisi, warga menunjukkan bukti penguasaan lahan sejak puluhan tahun lalu.
Di sisi lain, Pupuk Kaltim mengandalkan HGB yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Syahrudin menyebut langkah perusahaan sebagai bentuk “surat di atas surat”, merupakan sebuah metafora pahit, ketika dokumen korporasi menyingkirkan surat tanah rakyat, yang masih dipegang pemilik sah.
Merujuk Permen ATR/BPN No. 18 Tahun 2021, penerbitan HGB seharusnya hanya bisa dilakukan jika ada bukti penguasaan, atau perjanjian resmi dengan pemilik tanah.
Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka HGB yang dimiliki perusahaan berpotensi melanggar hukum.
“Kalau perusahaan tidak pernah membeli, tidak menerima hibah, dan tidak pernah mendapat persetujuan resmi dari pemilik, bagaimana mungkin HGB itu sah? Ini jelas pelanggaran administratif sekaligus bentuk ketidakadilan,” ujarnya.
Warga menilai konflik ini bukan sekadar urusan dokumen, dan di balik penerbitan HGB, mereka menduga ada praktik kongkalikong antara perusahaan dan aparat birokrasi.
Penerbitan sertifikat yang dinilai cacat hukum seolah memperlihatkan negara lebih berpihak, pada korporasi ketimbang rakyatnya sendiri.
Syahrudin menilai kondisi ini menjadi potret klasik konflik agraria nasional: dan rakyat kecil kerap dipaksa mundur dengan dalih legalitas yang justru lahir dari proses bermasalah.
Somasi terbuka ini bukan hanya peringatan hukum, tetapi juga alarm potensi gejolak sosial di Bontang.
Warga mengaku tidak akan diam, jika hak mereka terus digusur oleh dalih sertifikat perusahaan.
“Ini bukan hanya soal lahan, ini soal harga diri rakyat kecil, dan kalau Negara tidak hadir, Kami akan terus melawan,” tutup Syahrudin.
Hingga berita ini diterbitkan, PT Pupuk Kaltim belum memberikan klarifikasi resmi.
Namun, publik menanti, apakah perusahaan pelat merah ini berani membuka dokumen penerbitan HGB mereka secara transparan, atau justru memilih bungkam di tengah tuduhan yang kian menguat.
Penulis: Andi Isnar