Disdikbud Kaltim: Pembelajaran SMK Berbasis Teaching Factory, Tidak Harus Bebani Siswa dengan PR.

DISCLAIMER: Penayangan ulang sebagian atau keseluruhan berita untuk konten akun media sosial komersil harus seizin Redaksi

SAMARINDA, literasikaltim.com — Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) terus mendorong Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk menerapkan metode pembelajaran berbasis Teaching Factory, sebagai strategi penguatan keterampilan siswa yang selaras dengan kebutuhan industri, dunia kerja dan dunia usaha.

Dalam sistem ini, pembelajaran difokuskan pada praktik langsung, dengan alokasi waktu *60–70 persen untuk praktek dan 30–40 persen untuk teori, terutama pada tahun pertama.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Pembinaan SMK Disdikbud Kaltim, Surasa, S.Pd., M.Pd., yang menegaskan bahwa pendekatan pembelajaran Teaching Factory tidak hanya menekankan pada pemahaman teori, tetapi juga membentuk karakter kerja dan keterampilan industri melalui proses belajar yang aplikatif dan realistis.

“Di kelas X, teori diberikan secara penuh. Kemudian di kelas XI dan XII, siswa mulai fokus pada pembelajaran berbasis proyek (PjBL). Di semester ganjil kelas XII, mereka masuk ke praktek kerja industri (prakerin), dan di semester akhir dilakukan uji kompetensi dan sertifikasi,” jelas Surasa.

Ia juga menekankan bahwa sistem pembelajaran ini tidak mengharuskan guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa, terutama bagi mereka yang tengah menjalani prakerin di industri.

“Praktek kerja industri di dunia nyata menuntut waktu dan tenaga yang sangat besar. Contohnya, siswa konsentrasi keahlian perhotelan bisa pulang hampir tengah malam, karena harus menyelesaikan tugas acara hingga larut malam, dan kembali bersiap pukul 4 pagi untuk menyiapkan sarapan tamu hotel,” ujar Surasa.

Dalam situasi seperti itu, ia menilai tidak relevan, jika siswa masih dibebani pekerjaan rumah oleh guru adaptif maupun normatif, karena hal itu justru dapat mengganggu fisik, psikologis, dan kualitas portofolio siswa.

“Kami berharap guru bisa bijak dalam memberikan tugas tambahan, dan jangan sampai tugas-tugas yang tidak menunjang keahlian justru membebani siswa yang sudah kelelahan setelah praktik seharian,” tegasnya.

Menurutnya, penyesuaian sistem tugas atau PR harus menjadi kebijakan internal sekolah melalui kolaborasi antar guru.

Tidak hanya guru produktif, tetapi juga guru adaptif dan normatif perlu menyelaraskan pendekatan capaian pembelajaran dengan kegiatan praktik industri siswa.

“Semangat kolaborasi antar guru sangat penting. Semua pihak di satuan pendidikan harus punya pandangan yang sama, bahwa tujuan akhir dari sistem ini adalah membentuk lulusan yang siap kerja, tidak hanya secara teknis tetapi juga secara mental dan manajerial,” katanya.

Surasa juga menegaskan bahwa pola pembelajaran Teaching Factory menuntut keterlibatan aktif sekolah, dalam menciptakan proyek-proyek pembelajaran nyata, yang bisa mengasah kreativitas dan problem solving siswa.

Pada akhirnya, lulusan SMK diharapkan tidak hanya siap bekerja, tetapi juga mampu menciptakan peluang usaha.

“Kalau siswa hanya mengetahui atau memahami, itu masih dalam level berpikir rendah dan menengah. Tapi kita ingin mereka sampai pada level mencipta, yaitu mampu menghasilkan sesuatu dari apa yang mereka pelajari,” tutupnya.

Dengan penerapan sistem ini, Disdikbud Kaltim berharap kualitas lulusan SMK semakin kompetitif dan adaptif terhadap tantangan industri, dunia kerja dan dunia usaha, serta mampu menjawab kebutuhan pembangunan ekonomi di Kaltim.

Penulis: Andi Isnar

Permintaan ralat, koreksi, revisi maupun hak jawab, silakan WA 0878-8345-4028

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *